Minggu, 11 Desember 2016

Budaya Makanan

Kue Coro Simbol "Rabukasan" Kota Pekalongan


Hai hai readers ! pekan lalu aku udah nulis di blog mengenai rabu wekasan di daerah Yogyakarta. Nah sekarang kita tinggalkan Yogyakarta menuju kota pesisir pantai yang kental akan budaya dan tradisinya dan terkenal dengan Batiknya. Udah pada tau kan kota apa itu ? Yes benar sekali Kota Pekalongan. Kota dengan seabrek budayanya, kota yang mayoritas masyarakatnya bisa membatik dan kota yang penuh dengan kenangan bagi penulis hahahaha.

Rabu pungkasan ? pastinya udah pernah denger kan ? nah kalau di daerah Pekalongan sih biasanya dikenal dengan istilah “rabukasan”. Untuk mengingatkan kembali, penulis jelasin lagi deh apa itu rabu pungkasan itu. Rabu pungkasan merupakan hari rabu terakhir di bulan shafar. Pada hari rabu terakhir ini banyak ritual-ritual yang dilakukan. Mengapa demikian ? karena masyarakat percaya bahwa bulan shafar itu rentan dengan bala’ (bencana). Oleh karena itu pada hari rabu terakhir ini banyak dilakukan ritual maupun tradisi yang bertujuan untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT agar terhindar dari berbagai bencana dan malapetaka yang mungkin akan terjadi. Pekalongan yang merupakan kota santri tentunya tradisi maupun ritual yang dilakukan tidak terlepas dengan hal-hal yang berbau agamis. Ritual atau tradisi yang umumnya dilakukan di daerah Pekalongan adalah sholat tolak bala’, berdoa dengan doa-doa khusus, meminum air yang telah di doakan oleh ulama ataupun kyai setempat, mengusap kepala anak yatim, bersilaturahmi kepada sanak saudara dan tetangga, serta melakukan syukuran. Makanan khas yang hanya ada dan dibuat saat syukuran di “rabukasan” ini adalah “kue coro”. Kue coro merupakan kue yang terbuat dari tepung terigu, gula jawa yang dicampur dengan daun bawang yang mempunyai rasa yang khas. Umumnya kue coro ini dimakan dengan memakai kuah santan yang telah dicampur dengan santan kelapa dan diberi rempah-rempah sehingga kue ini mendapat tempat tersendiri di hati penikmatnya. 


Sabtu, 10 Desember 2016

Budaya Makanan

Lopis Raksasa : Ikon Syawalan Kota Pekalongan




Kota Pekalongan merupakan kota yang berada di pesisir pantai utara Jawa Tengah. Lokasi tersebut membuat Pekalongan menjadi salah satu wilayah, yang pertama kali dimasuki ajaran islam. Selain ajaran islam, Kota Pekalongan juga terkenal kental akan tradisi dan budaya yang masih dipertahankan. Menurut bapak Darmoko, seorang ahli budaya jawa dari Universitas Indonesia, daerah yang berada di pesisir pantai termasuk didalamnya adalah Pekalongan, adalah daerah yang kental dengan budaya islam.
Krapyak, merupakan salah satu kelurahan di Kota Pekalongan yang terletak di daerah pesisir. Daerah ini memiliki tradisi,  yang sampai saat ini masih dipelihara oleh masyarakat. Salah satunya adalah tradisi syawalan. Tradisi tersebut dirayakan seminggu setelah idul fitri dimana masyarakat telah selesai melaksanakan puasa sunnah selama seminggu penuh diawal bulan syawal. Menurut sesepuh Krapyak, Bapak KH. Zainudin Ismail, syawalan dipelopori oleh salah satu ulama besar Pekalongan yakni KH. Abdullah Sirodj, yang menjadi panutan bagi semua masyarakat pekalongan di era kolonial belanda.

Setelah selesai menjalankan puasa sunah di bulan syawal, semua masyarakat melakukan syukuran atau perayaan dengan tujuan untuk menambah dan memperat tali silaturahmi antar sesama warga. Karena syukuran dilaksanakan dibulan syawal, maka disebut dengan istilah syawalan. Salah satu makanan yang disajikan saat syawalan adalah, lopis. Lopis dibuat dengan ukuran yang besar, agar dapat dibagikan kepada seluruh sanak saudara, maupun masyarakat yang hadir. Dahulu, kegiatan syawalan berasal dari dana swadaya masyarakat, akan tetapi karena semakin meriahnya tradisi syawalan setiap tahunnya, maka sebagai bentuk dukungan, pemerintah Kota Pekalongan  memberikan bantuan berupa dana operasional yang bersumber dari RAPB (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja) yaitu sebesar 30 juta rupiah untuk kegiatan syawalan setiap tahunnya.



Pembuatan Lopis
Pembuatan lopis raksasa merupakan budaya kota pekalongan yang dilakukan secara rutin pada bulan syawal. Dimana pada hari pertama ini pembuatan lopis raksasa memasuki tahap pertama, yaitu pencucian beras ketan, pengukusan, penumbukan, dan pembentukan. Pada proses pengukusan ditambahkan daun pandan agar menghasilkan aroma yang khas pada ketan. Beras ketan yang digunakan  untuk pembuatan lopis raksasa sebanyak 4 kwintal  dengan tinggi dandang hampir mencapai dua meter. Pada hari pertama masyarakat bahu membahu dalam proses pembuatan lopis raksasa  tersebut. Hari itu, warga krapyak kidul nampak antusias dan bersemangat.
Hari kedua pembuatan lopis raksasa di Krapyak Kidul, kini telah memasuki tahap pembalikan lopis , dimana untuk proses pembalikan lopis sendiri, menggunakan alat, berupa katrol. Sebelum proses pembalikan, lopis raksasa yang berbahan beras ketan seberat 4 kwintal tersebut, dikukus dengan dandang ukuran besar. Karena ukuran lopis yang lebih besar dari pada biasanya, penarikan dengan katrol dilakukan oleh lebih dari 8 orang dewasa. Ukuran lopis sendiri dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Di hari ketiga pembuatan lopis raksasa, kini telah memasuki tahap pengangkatan. Proses pengangkatan sendiri, tidak berbeda jauh dengan tahap pembalikan, yaitu masih menggunakan katrol, sebagai alat bantunya. Tahap pengangkatan lopis dari dandang raksasa, dilakukan oleh sekitar  lebih dari 10 orang, karena dibutuhkan kekompokan antara satu dengan yang lain. Setelah lopis berhasil diangkat dari dandang, kemudian lopis diletakkan ke panggung kayu berukuran sedang dan rencananya lopis akan berada di panggung kayu tersebut, hingga perayaan syawalan tiba.

Filosofi dari Lopis Raksasa
Lopis, adalah makanan yang berbahan dasar ketan yang memiliki sifat lengket, dimana sifat lengket ini, dijadikan sebagai simbol keereatan. Dengan menyajikan olahan berbahan dasar ketan seperti lopis, niscaya hubungan tali silaturahmi semakin erat. Ketan yang digunakan adalah jenis ketan putih. Warna putih dari ketan disimbolkan sebagai kebersihan hati setelah melakukan puasa syawal selama satu minggu penuh. Lopis dibungkus dengan daun pisang, daun pisang dipilih sebagai pembungkus dengan harapan, masyarakat dapat bersifat seperti tanaman pisang yang dapat berguna dari daun hingga akarnya. Warna daun pisang yang hijau memiliki filosofi kemakmuran, dimana seluruh masyarakat pekalongan harus bersyukur atas kemakmuran yang telah diberikan oleh sang maha kuasa.  Setelah dibungkus, kemudian lopis diikat dengan tali dari pelepah pisang. Pengikatan tersebut, bertujuan agar bentuk lopis tetap kokoh dan rapi. Filosofi dari pengikatan dengan tali menunjukan persatuan, diharapkan masyarakat pekalongan khususnya daerah krapyak tidak tercerai berai dan tetap bersatu dalam membangun bangsa indonesia agar lebih maju.

Pengunjung yang datang pada saat perayaan syawalan, setelah selesai menyaksikan pemotongan lopis raksasa oleh walikota pekalongan, biasanya akan menuju ke objek wisata Kota Pekalongan yaitu pantai pasir kencana. Disana telah disediakan berbagai macam wahana wisata seperti akuarium, kolam renang, dan wisata outbond lainnya.

Sebagai kebanggan Kota Pekalongan, tradisi lopis raksasa saat syawalan sudah seharusnya tetap dilestarikan agar tradisi tersebut tidak hilang dan generasi mendatang tetap dapat merasakan nilai religiusitas dan kekentalan budaya  syawalan. 



Budaya Makanan

Syawalan : Tradisi Khas Kota Pekalongan


Walikota Pekalongan periode 2015-2020 H. Achmad Alf Arslan Djunaid, S.E melakukan pemotongan Lopis pada perayaan Syawalan tahun 1437 Hijriyah

Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terdiri dari banyak unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, alat, pakaian, bangunan, dan karya seni. Indonesia adalah negara yang kaya akan tradisi dan budaya yang beragam dan bervariasi di tiap daerah. Keragaman budaya salah satunya adalah budaya makanan, setiap Kota dalam suatu provinsi saja bisa memiliki budaya makanan yang berbeda-beda. Contohnya adalah masyarakat Jawa Tengah yang memiliki berbagai makanan tradisional yang berbeda di setiap Kota. Bagi masyarakat Jawa, banyak sekali tradisi yang dapat mengandung arti sebagai perdamaian, keselamatan, bentuk syukur dan kerukunan. Bahkan tradisi tersebut tidak ditinggalkan oleh masyarakat yang sudah bergaya hidup modern. Salah satunya adalah tradisi Syawalan yang dirayakan dengan berbagai cara yang unik.

Lopis raksasa di hari Syawal
Tradisi Syawalan merupakan salah satu budaya yang dirayakan oleh masyarakat Jawa dengan penuh semangat. Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam merayakan Syawalan. Di Yogyakarta dan Surakarta, Syawalan dirayakan dengan melakukan Grebeg Syawal yakni mengarak dua gunungan berisi hasil bumi. Sementara itu di Kota Pekalongan tradisi Syawalan dilakukan dengan cara yang sedikit berbeda. Warga daerah Krapyak di Kota Pekalongan melakukan tradisi pemotongan Lopis raksasa, tradisi ini biasa disebut dengan istilah “Krapyakan” karena dirayakan di daerah Krapyak . Lopis yang dibuat umumnya memiliki ukuran yang bervariasi setiap tahun, namun beratnya pasti melampaui 100 kg. Pelaksanaan tradisi Syawalan ini dilakukan pada hari ke tujuh di bulan Syawal atau satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri tepatnya pada tanggal 8 Syawal. Lopis memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Pekalongan. Sifat beras ketan yang lengket dan saling menyatu satu sama lain mengartikan bahwa tradisi tersebut dapat menjadi perekat tali silaturahmi dan mempererat persaudaraan di wilayah Pekalongan.Tradisi tersebut juga menjadi media komunikasi dari berbagai lapisan masyarakat baik masyarakat lokal maupun luar Pekalongan. Lopis raksasa tersebut bahkan pernah tercatat di museum rekor Indonesia (MURI) pada perayaan Syawalan tahaun 1425 H (tahun 2004 berdasarkan penanggalan masehisebagai pembuatan Lopis terbesar di Indonesia.  
Seminggu sebelum hari perayaan warga Krapyak sudah bersiap-siap menyiapkan perayaan tersebut. Dimulai dengan pembentukan panitia, kemudian mulai mengumpulkan iuran untuk membeli bahan-bahan dan menyiapkan alat-alat yang diperlukan dalam pembuatan Lopis, karena Lopis raksasa tidak disajikan dengan gula jawa cair dan parutan kelapa, bahan-bahan yang diperlukan cukup mudah ditemukan seperti beras ketan putih, daun pisang, dan air. Dalam tahap persiapan yang menjadi keunikan mungkin terletak pada pemilihan alat-alat yang harus disiapkan warga. Dengan ukuran raksasa  dibutuhkan dandang berukuran  2 kali tinggi orang dewasa, selain itu diperlukan pula katrol dan tali tambang untuk mengangkat Lopis. Untuk menjamin bentuk Lopis tetap bagus, diperlukan pula cetakan berbahan dasar kayu dan tumbukan untuk menumbuk beras ketan sebelum dimasak. Setelah seluruh bahan siap, maka proses pembuatan dapat dimulai. Pertama-tama beras ketan dicuci dengan air sebanyak 2x pengulangan dan direndam selama 10-15 menit. Kemudian beras ditiriskan dan dimasak dalam dandang kecil hingga setengah matang. Setelah matang, beras ditumbuk dan dimasukan dalam cetakan kayu yang sudah dilapisi daun pisang kemudian dimasukan dalam dandang besar menggunakan bantuan katrol dan Lopis mulai dimasak. Pada 24 jam pemasakan pertama, posisi Lopis dibalik supaya seluruh bagian matang dengan merata dan pemasakan dilanjutkan hingga 2-3 hari kemudian. Lopis raksasa yang telah matang kemudian diangkat menggunakan katrol ke lokasi pemotongan.

Perayaan yang Meriah
Pemotongan Lopis raksasa umumnya dilakukan di Kelurahan Krapyak gang 8 Kota Pekalongan. Rangkaian acara dimulai dengan pelepasan balon udara dan menyalakan petasan pada pukul 6 pagi sebagai tanda memulainya acara. Kedua kegiatan tersebut merupakan akulturasi dari budaya Belanda dan Tionghoa. Pada zaman dahulu warga kolonial Belanda melepaskan balon udara untuk memeriahkan acara sementara para warga Tionghoa menyalakan petasan untuk memeriahkan perayaan. Kemudian sekitar pukul 7 pagi barulah pemotongan Lopis raksasa dilakukan. Pemotongan pertama Lopis tersebut dilakukan oleh waliKota Pekalongan yang didampingi Istri, kemudian diikuti pemotongan untuk tamu-tamu yang hadir dan seluruh warga. Lopis raksasa tersebut tidak diberi taburan kelapa parut dan gula jawa pada umumnya. Jika sudah kehabisan potongan Lopis tidak perlu khawatir, kunjungilah rumah-rumah warga di sepanjang kelurahan Krapyak maka Anda dapat menikmati kue Lopis berukuran kecil yang dinikmati dengan parutan kelapa dan siraman gula jawa cair. Selain itu Anda juga dapat menikmati kacang rebus, lotis (potongan aneka macam buah yang dimakan dengan sambal kacang), dan kerupuk pasir yang dikenal dengan nama “miusek” oleh masyarakat Krapyak.

Pesan dari Sang Proklamator
            Perayaan Syawalan di Kota Pekalongan sudah ada sekitar tahun 1885. Dimulai dari kebiasaan puasa Syawal yang dilakukan oleh KH. Abdullah Sirodj yang merupakan seorang ulama besar pada era kolonial Belanda. “KH. Abdullah Sirodj merupakan ulama yang menjadi panutan masyarakat, tidak heran kebiasaannya untuk melaksanakan puasa Syawal selama seminggu penuh setelah hari raya Idul Fitri diikuti oleh masyarakat” tutur KH. Zainudin Ismail salah satu sesepuh Krapyak. Melihat pengaruh yang besar dari KH. Abdullah Sirodj terhadap masyarakat Pekalongan membuat pemerintah kolonial Belanda takut terhadap beliau. Belanda takut dengan kepatuhan masyarakat Pekalongan terhadap beliau, jika beliau memerintahkan perlawanan maka seluruh rakyat Pekalongan dapat melawan dan tidak patuh terhadap Belanda. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mengasingkan KH. Abdullah Sirodj, beliau pun berada di Magelang hingga akhir hayatnya. Kepatuhan masyarakat terhadap ajaran beliau membuat tradisi puasa Syawal tetap dilaksanakan masyarakat mesksipun KH. Abdullah Sirodj tidak hadir ditengah-tengah mereka.
Sebagai perayaan untuk menandai selesainya puasa Syawal maka masyarakat membuat kue Lopis. Kue tersebut dipilih karena berbahan dasar ketan yang memiliki sifat lengket, sifat lengket tersebut melambangkan keeratan silaturahmi. “Diantara beras lainnya ketan memang merupakan beras yang paling lengket, tidak heran ketan sering digunakan sebagai bahan baku makanan yang memiliki filosofi hidup harmonis” ujar ahli budaya Universitas Indonesia Bapak Darmoko. Dengan menyajikan kue Lopis tersebut diharapkan masyarakat Pekalongan dapat bersatu dan memiliki tali silaturahmi yang kuat. Filosofi tersebut juga menjadi pesan dari proklamator kemerdekaan Bapak Soekarno. Pada tahun 1950 Presiden Soekarno datang dalam rapat akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan (sekarang menjadi Monumen), beliau berpesan agar rakyat Pekalongan bersatu seperti lopis. Pesan dari Bapak Proklamator tersebut menjadi pemicu semangat masyarakat untuk terus melestarikan tradisi tersebut.
Hingga saat ini tradisi Syawalan masih tetap dilakukan dan animo masyarakat dari dalam maupun luar Kota Pekalongan masih tinggi. Semoga tradisi tersebut semakin lestari dan selalu  menjadi kebanggan Kota Pekalongan.   


Rabu, 23 November 2016

Budaya Makanan


Lemper : Simbol Rabu Wekasan Daerah Yogyakarta

Rabu wekasan atau sering juga disebut dengan rabu pungkasan atau rabu kasan merupakan hari rabu terakhir di bulan shafar dimana pada rabu terakhir ini banyak terdapat tradisi-tradisi ritual yang dilaksanakan. Tradisi ritual dilakukan dengan tujuan untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai semua bencana dan malapetaka yang mungkin akan terjadi. Istilah rabu wekasan sudah ada sejak dahulu dan bersifat turun temurun di kalangan masyarakat Jawa. Tradisi ritual yang biasanya dilakukan adalah shalat tolak bala’, berdoa dengan doa-doa khusus, meminum air jimat dan syukuran atau selamatan, silaturahmi dan berbuat baik kepada sesama.
Daerah-daerah yang hingga saat ini masih melaksanakan tradisi rabu wekasan antara lain Yogyakarta, dan Pekalongan. Tradisi rabu wekasan di daerah Yogyakarta dan Pekalongan sangat berbeda. Untuk daerah Yogyakarta sendiri tradisi yang sampai saat ini masih dilakukan adalah menyeberangi tempuran dan semedi dimana dua kegiatan ini berawal dari Sultan Agung yang kemudian diikuti dan dilaksanakan setiap tahunnya pada rabu wekasan.
         Awal mula adanya tradisi rabu wekasan ini adalah kebiasaaan Sultan Agung yang sering melakukan nenepi  (bersemedi ditempat yang sepi dan berkeramat untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberikan perlindungan, keselamatan, rejeki dan kedudukan) di tempuran Wonokromo. Sultan Agung bersemedi di salah satu tepi tempuran atau sungai. Untuk melalukan semedi tersebut umumnya banyak gangguan, kendala dan hambatan yang akan dihadapi. Suatu hari ketika Sultan Agung sedang melakukan semedi tiba-tiba diganggu dengan kedatangan Ratu Kidul yang menaiki kuda sembrani. Ratu Kidul lalu turun dari kuda sembraninya untuk menyeberangi sungai karena tempat Ratu Kidul bersebarangan dengan Sultan Agung. Ketika menyeberangi sungai Ratu Kidul mengangkat kainnya ke atas agar tidak basah. Tentu saja dalam mengangkat kainnya Ratu Kidul menyesuaikan dengan kedalaman sungai sehingga semakin dalam sungai maka semakin tinggi pula kain yang diangkatnya hingga keliatan betis dan paha nya. Paras Ratu Kidul yang cantik jelita ditambah dengan kondisi  Ratu Kidul yang sedang mengangkat kainnya membuat Sultan Agung terkesima hingga mendorong hasrat kelaki-lakiannya. Sesampainya di seberang maka Sultan Agung menyambut Ratu Kidul dengan baik. Kemudian keduanya larut dalam gejolak asmara.
     Sampai saat ini tradisi semedi dan menyeberang tempuran masih berlangsung di desa Wonokromo. Pada rabu wekasan masyarakat berbondong-bondong ke tempat tersebut untuk melakukan tirakatan dengan tidak selama semalam suntuk. Pada sore hari hingga petang, para wanita menyeberangi tempuran sambil mengangkat kain. Hal ini dimaksudkan untuk meniru Ratu Kidul. Sedangkan para pria menggoda dan menganggu wanita yang sedang menyeberangi tempuran dengan meneriakkan kalau wanita kurang tinggi mengangkat kainnya. Tradisi ini dianggap menarik oleh para pria sehingga banyak pria yang menyaksikan dan tidak heran jika banyak ucapan-ucapan yang kurang terkontrol dari mulut mereka sehingga tidak dapat dilepaskan dari kata-kata yang menjurus ke pornografi. Para wanita yang sedang menyeberang tidak boleh sakit hati dengan perkataan-perkataan yang dilontarkan oleh para pria sebab sebelum memasuki tempat upacara para wanita harus merasa tidak terganggu dan menganggapnya dengan wajar apapun yang dilontarkan oleh para pria. Masyarakat yang berkunjung bukan hanya dari daerah sekitar saja akan tetapi berasal dari daerah-daerah lain baik dari wilayah Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Selain itu di hari rabu wekasan diselenggarakan pula pasar malam selama satu minggu di lapangan depan Balai Desa Wonokromo. Puncak perayaan rabu wekasan adalah dengan “ngarak lemper” yang artinya membawa lemper besar untuk diarak keliling desa yang diiringi dengan berbagai kelompok kesenian, pasukan berkuda, prajurit keraton dan kesenian lainnya. Lemper yang digunakan dibuat seukuran kenthongan bambu. Sebelum prosesi dimulai terlebih dahulu diawali dengan doa dan membaca surat Al-Fatihah kemudian arak-arakan dimulai dari masjid Wonokromo menyusuri jalan desa sepanjang ± 2 KM dan berakhir di Balai desa Wonokromo. Di sepanjang jalan ribuan pengunjung bergerombol di kiri dan kanan jalan untuk menyaksikan dan memeriahkan acara yang sedang berlangsung. Sesaimpainya di  Balai Desa pemimpin prosesi kemudian menyerahkan berbagai “uba rampe” termasuk juga lemper besar kepada Kepala Desa. Setelah Kepala Desa memberikan sambutan dan penjelasan maka dilakukan prosesi pemotongan lemper besar dan kemudian dibagikan kepada para pengunjung dan undangan. 
          

Lemper sendiri memiliki simbol dalam tradisi rabu wekasan yaitu “sunduk” (tusuk bambu yang membungkus lemper) yang berjumlah dua menyimbolkan rukun islam dan rukun iman. Selain itu kedua “sunduk” juga bermakna bertemunya dua insan yaitu kanjeng Sultan Agung dan Kanjeng Ratu Kidul yang telah memakmurkan tanah jawa. Kemudian bungkus lemper memiliki makna sebagai pembungkus agar masyarakat khususnya masyarakat Pleret selalu dalam keadaan aman, sejahtera, dan sentosa. Bentuk lemper dimaknai sebagai hasil pertemuan antara Sultan Agung dengan Kanjeng Ratu Kidul yang bercinta dalam tempuran.

Jumat, 14 Oktober 2016

Megono Gunungan Salah Satu Simbol Tradisi Syawalan Di Kabupaten Pekalongan
   
Tradisi  syawalan  merupakan  salah  satu  tradisi  yang  masih  dilaksanakan diberbagai daerah terutama di Jawa. Di berbagai daerah di Indonesia yang hingga sekarang masih merayakan beberapa tradisi syawalan antara lain di Kabupaten Rembang, Jepara,Semarang, Demak dan Pekalongan. Tradisi syawalan di Rembang dan Jepara dilaksanakan dengan pesta  Lomban. Tradisi syawalan di Semarang dan Demak dilaksanakan dengan hajat laut. Di Kabupaten Pekalongan sendiri syawalan dilaksanakan dengan tradisi megono gunungan yang biasanya dilakukan di tempat obyek wisata Linggoasri yaitu pada hari kedelapan setelah hari raya Idul Fitri.

Hasil gambar untuk megono gunungan

Megono adalah makanan khas Pekalongan yang berbahan dasar gori (nangka muda) yang dibumbui dengan bermacam-macam rempah-rempah Indonesia dan sudah dihaluskan, memiliki rasa yang gurih dan umumnya disajikan dengan nasi, dan tempe mendoan. 
Perayaan  tradisi  syawalan  megana  gunungan  yang  masih  terus dilaksanakan  dari  tahun  ketahun  hingga  saat  ini  selain  untuk  melestarikan budaya  juga  didalamnya  terdapat  symbol-simbol  yang  ada.  Penggunaan makanan  megana  dalam  tradisi  syawalan  megana  gunungan  di  Kabupaten Pekalongan  membedakan  dari  perayaan  tradisi  syawalan  diberbagai  daerah lain. Sajian megana yang dibuat raksasa memberikan keunikan tersendiri bagi tradisi megana gunungan di Kabupaten Pekalongan. 
Upacara syawalan megono gunungan dilaksanakan di Desa Linggoasri, Kecamatan Kajen,  Kabupaten Pekalongan. Tradisi syawalan ini dilaksanakan pada bulan Syawal tepatnya  setiap 1 minggu setelah Lebaran atau Idul Fitri yaitu pada tanggal 8 syawal. Upacara tradisi syawalan megono gunungan dilaksanakan dengan tujuan sebagai wujud ungkapan  rasa syukur setelah menjalankan puasa ramadhan dan puasa sunah syawal serta sebagai ajang silaturahmi antar warga masyarakat sekitar maupun dengan warga masyarakat yang mengunjungi acara syawalan megono gunungan, dan sebagai salah satu momen untuk berbagi rezeki antar sesama masyarakat.

Jumat, 30 September 2016

Bubur Suro Simbol Tahun Baru Islam

Bubur Suro Simbol Tahun Baru Islam



Bulan muharram atau yang biasa disebut oleh masyarakat jawa sebagai bulan suro merupakan bulan pertama (tahun baru islam) dalam kalender hijriyyah (kalender islam). Istilah bulan suro sendiri berasa dari kata sepuluh dalam bahasa arab yang disebut ‘Asyuro (عاشوراء), dimana pada tanggal ini dikenal sebagai tanggal keramat sebab katanya banyak terjadi bala’ atau bencana yang dapat terjadi. Oleh karena itu apabila sudah memasuki bulan ini banyak warga masyarakat yang mengadakan selametan atau syukuran dimana tujuannya untuk menolak bala’ atau bencana yang akan terjadi khususnya pada tanggal 10 muharram. Mitos dikeramatkannya tanggal 10 muharram dalam tradisi Jawa didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dibeberapa zaman. Diantaranya perahu Nabi Nuh AS selamat berlabuh seiring surutnya musibah bandang, tenggelamnya Raja Fir’aun, Nabi Yunus dikeluarkan oleh Allah SWT dari perut ikan paus dan lain sebagainya. Karena dianggap sangat keramat maka pada bulan ini tidak dianjurkan untuk mengadakan berbagai kegiatan seperti hajatan pernikahan, khitanan dan jenis hajatan lainnya. Menurut tradisi jawa apabila tetap memaksakan mengadakan hajatan pada bulan suro maka akan terjadi bencana atau bala’ dimana akan dapat membahayakan keluarga dan kerabat. Contoh konkritnya misalnya apabila mengadakan hajatan pernikahan pada bulan suro maka pernikahan yang dijalankan nantinya akan berujung tidak harmonis dan bahkan dapat ke jenjang perceraian.
Penyambutan akan datangnya tahun baru islam lebih sederhana bila dibandingkan dengan perayaan tahun baru masehi atau nasional. Uniknya jika tahun baru nasional diperingati setiap tanggal 1 berbeda dengan tahun baru islam dimana diperingati setiap tanggal 10 Muharram. Sebelum menyambut dan merayakan tahun baru islam tanggal 10 muharram ini, pada umumnya dilakukan ritual keagamaan yaitu berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram atau yang biasa dikenal dnegan puasa Tasu’a dan ‘asyura. Nah pada tanggal 10 muharram inilah bubur suro biasanya dibuat dan disajikan. Menurut tradisi yang ada, bubur suro dibuat untuk porsi yang besar sebab nantinya akan dberikan kepada tetangga-tetangga yang ada disekitar rumah, sanak famili dan lainnya. Selain itu terdapat juga hal-hal yang memang disunahkan dilakukan pada bulan suro ini yaitu memberikan santunan kepada anak yatim, piatu maupun keduanya dan diringi dengan mengusap kepala anak tersebut seraya berdoa agar diberikan keberkahan.
Bubur suro sendiri banyak sekali jenisnya akan tetapi di daerah saya tinggal yaitu di Pekalongan, umumnya bubur berisi udang, daun kemangi, telur dadar yang diiris, rempah atau perkedel, cabe merah yang dipotong, tempe orek dan tentunya bubur dari beras yang dicampur dengan jagung yang telah di pipil kecil-kecil dan dibumbui. Bubur suro diletakkan di daun yang telah dibentuk seperti kapal. Bentuk kapal ini termotivasi dari kisah nabi Nuh AS yang selamat berlabuh ketika terjadi peristiwa banjir bandang.