Kue Coro Simbol "Rabukasan" Kota Pekalongan
Hai hai
readers ! pekan lalu aku udah nulis di blog mengenai rabu wekasan di daerah
Yogyakarta. Nah sekarang kita tinggalkan Yogyakarta menuju kota pesisir pantai
yang kental akan budaya dan tradisinya dan terkenal dengan Batiknya. Udah pada
tau kan kota apa itu ? Yes benar sekali Kota Pekalongan. Kota dengan seabrek
budayanya, kota yang mayoritas masyarakatnya bisa membatik dan kota yang penuh
dengan kenangan bagi penulis hahahaha.
Rabu
pungkasan ? pastinya udah pernah denger kan ? nah kalau di daerah Pekalongan
sih biasanya dikenal dengan istilah “rabukasan”. Untuk mengingatkan kembali,
penulis jelasin lagi deh apa itu rabu pungkasan itu. Rabu pungkasan merupakan
hari rabu terakhir di bulan shafar. Pada hari rabu terakhir ini banyak
ritual-ritual yang dilakukan. Mengapa demikian ? karena masyarakat percaya
bahwa bulan shafar itu rentan dengan bala’ (bencana). Oleh karena itu pada hari
rabu terakhir ini banyak dilakukan ritual maupun tradisi yang bertujuan untuk
meminta perlindungan kepada Allah SWT agar terhindar dari berbagai bencana dan
malapetaka yang mungkin akan terjadi. Pekalongan yang merupakan kota santri
tentunya tradisi maupun ritual yang dilakukan tidak terlepas dengan hal-hal
yang berbau agamis. Ritual atau tradisi yang umumnya dilakukan di daerah
Pekalongan adalah sholat tolak bala’, berdoa dengan doa-doa khusus, meminum air
yang telah di doakan oleh ulama ataupun kyai setempat, mengusap kepala anak
yatim, bersilaturahmi kepada sanak saudara dan tetangga, serta melakukan
syukuran. Makanan khas yang hanya ada dan dibuat saat syukuran di “rabukasan”
ini adalah “kue coro”. Kue coro merupakan kue yang terbuat dari tepung terigu,
gula jawa yang dicampur dengan daun bawang yang mempunyai rasa yang khas. Umumnya
kue coro ini dimakan dengan memakai kuah santan yang telah dicampur dengan
santan kelapa dan diberi rempah-rempah sehingga kue ini mendapat tempat
tersendiri di hati penikmatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar