Budaya merupakan suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terdiri dari banyak unsur, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, alat, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Indonesia adalah negara yang kaya akan tradisi dan budaya yang beragam dan bervariasi
di tiap daerah. Keragaman budaya salah satunya adalah
budaya makanan, setiap Kota dalam suatu provinsi saja bisa memiliki budaya makanan yang
berbeda-beda. Contohnya adalah masyarakat Jawa Tengah yang memiliki berbagai
makanan tradisional yang berbeda di setiap Kota. Bagi masyarakat
Jawa, banyak sekali tradisi yang dapat mengandung arti sebagai perdamaian,
keselamatan, bentuk syukur dan kerukunan. Bahkan tradisi tersebut tidak
ditinggalkan oleh masyarakat yang sudah bergaya hidup modern. Salah satunya adalah tradisi Syawalan yang dirayakan
dengan berbagai cara yang unik.
Lopis
raksasa di hari Syawal
Tradisi
Syawalan merupakan salah satu budaya yang dirayakan oleh masyarakat Jawa dengan penuh semangat. Setiap daerah
memiliki cara tersendiri dalam merayakan Syawalan. Di Yogyakarta dan Surakarta,
Syawalan dirayakan dengan melakukan Grebeg Syawal yakni mengarak dua gunungan
berisi hasil bumi. Sementara itu di Kota Pekalongan tradisi Syawalan dilakukan
dengan cara yang sedikit berbeda. Warga daerah Krapyak di Kota Pekalongan
melakukan tradisi pemotongan Lopis raksasa, tradisi ini biasa
disebut dengan istilah “Krapyakan” karena dirayakan di daerah Krapyak . Lopis yang dibuat umumnya memiliki ukuran yang
bervariasi setiap tahun, namun beratnya pasti melampaui 100 kg. Pelaksanaan
tradisi Syawalan ini dilakukan pada hari ke tujuh di bulan Syawal atau satu
minggu setelah Hari Raya Idul Fitri tepatnya pada tanggal 8 Syawal. Lopis
memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Pekalongan. Sifat beras ketan yang
lengket dan saling menyatu satu sama lain mengartikan bahwa tradisi tersebut
dapat menjadi perekat tali silaturahmi dan mempererat persaudaraan di wilayah
Pekalongan.Tradisi tersebut juga menjadi media komunikasi dari berbagai lapisan
masyarakat baik masyarakat lokal maupun luar Pekalongan. Lopis raksasa tersebut bahkan pernah tercatat di
museum rekor Indonesia (MURI) pada perayaan Syawalan tahaun 1425 H (tahun 2004
berdasarkan penanggalan masehisebagai pembuatan Lopis terbesar di Indonesia.
Seminggu sebelum hari perayaan warga Krapyak sudah bersiap-siap
menyiapkan perayaan tersebut. Dimulai dengan pembentukan panitia, kemudian
mulai mengumpulkan iuran untuk membeli bahan-bahan dan menyiapkan alat-alat
yang diperlukan dalam pembuatan Lopis, karena Lopis raksasa tidak disajikan
dengan gula jawa cair dan parutan kelapa, bahan-bahan yang diperlukan cukup
mudah ditemukan seperti beras ketan putih, daun pisang, dan air. Dalam tahap
persiapan yang menjadi keunikan mungkin terletak pada pemilihan alat-alat yang
harus disiapkan warga. Dengan ukuran raksasa dibutuhkan dandang berukuran 2 kali tinggi orang dewasa, selain itu
diperlukan pula katrol dan tali tambang untuk mengangkat Lopis. Untuk menjamin
bentuk Lopis tetap bagus, diperlukan pula cetakan berbahan dasar kayu dan
tumbukan untuk menumbuk beras ketan sebelum dimasak. Setelah seluruh bahan
siap, maka proses pembuatan dapat dimulai. Pertama-tama
beras ketan dicuci dengan
air sebanyak 2x
pengulangan dan direndam selama 10-15 menit. Kemudian beras ditiriskan dan dimasak dalam
dandang kecil hingga setengah matang. Setelah matang, beras ditumbuk dan dimasukan dalam cetakan kayu yang
sudah dilapisi daun pisang kemudian dimasukan dalam dandang besar menggunakan
bantuan katrol dan Lopis mulai dimasak. Pada 24 jam pemasakan pertama, posisi
Lopis dibalik supaya seluruh bagian matang dengan merata dan pemasakan
dilanjutkan hingga 2-3 hari kemudian. Lopis raksasa yang telah matang kemudian
diangkat menggunakan katrol ke lokasi pemotongan.
Perayaan yang Meriah
Pemotongan Lopis raksasa umumnya dilakukan di Kelurahan Krapyak gang 8 Kota
Pekalongan. Rangkaian acara dimulai dengan pelepasan balon udara dan menyalakan
petasan pada pukul 6 pagi sebagai tanda memulainya acara. Kedua kegiatan
tersebut merupakan akulturasi dari budaya Belanda dan Tionghoa. Pada zaman
dahulu warga kolonial Belanda melepaskan balon udara untuk memeriahkan acara
sementara para warga Tionghoa menyalakan petasan untuk memeriahkan perayaan.
Kemudian sekitar pukul 7 pagi barulah pemotongan Lopis raksasa dilakukan.
Pemotongan pertama Lopis tersebut dilakukan oleh waliKota Pekalongan yang
didampingi Istri, kemudian diikuti pemotongan untuk tamu-tamu yang hadir dan
seluruh warga. Lopis raksasa tersebut tidak diberi taburan kelapa parut dan
gula jawa pada umumnya. Jika sudah kehabisan potongan Lopis tidak perlu khawatir,
kunjungilah rumah-rumah warga di sepanjang kelurahan Krapyak maka Anda dapat
menikmati kue Lopis berukuran kecil yang dinikmati dengan parutan kelapa dan
siraman gula jawa cair. Selain itu Anda juga dapat menikmati kacang rebus,
lotis (potongan aneka macam buah yang dimakan dengan sambal kacang), dan
kerupuk pasir yang dikenal dengan nama “miusek” oleh masyarakat Krapyak.
Pesan dari Sang Proklamator
Perayaan Syawalan di Kota Pekalongan sudah ada sekitar
tahun 1885. Dimulai dari kebiasaan puasa Syawal yang dilakukan oleh KH.
Abdullah Sirodj yang merupakan seorang ulama besar pada era kolonial Belanda. “KH.
Abdullah Sirodj merupakan ulama yang menjadi panutan masyarakat, tidak heran
kebiasaannya untuk melaksanakan puasa Syawal selama seminggu penuh setelah hari
raya Idul Fitri diikuti oleh masyarakat” tutur KH. Zainudin Ismail salah satu
sesepuh Krapyak. Melihat pengaruh yang besar dari KH. Abdullah Sirodj terhadap
masyarakat Pekalongan membuat pemerintah kolonial Belanda takut terhadap
beliau. Belanda takut dengan kepatuhan masyarakat Pekalongan terhadap beliau,
jika beliau memerintahkan perlawanan maka seluruh rakyat Pekalongan dapat
melawan dan tidak patuh terhadap Belanda. Untuk mencegah hal tersebut terjadi,
maka pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mengasingkan KH. Abdullah
Sirodj, beliau pun berada di Magelang hingga akhir hayatnya. Kepatuhan
masyarakat terhadap ajaran beliau membuat tradisi puasa Syawal tetap dilaksanakan
masyarakat mesksipun KH. Abdullah Sirodj tidak hadir ditengah-tengah mereka.
Sebagai perayaan untuk menandai selesainya puasa Syawal maka masyarakat
membuat kue Lopis. Kue tersebut dipilih karena berbahan dasar ketan yang
memiliki sifat lengket, sifat lengket tersebut melambangkan keeratan
silaturahmi. “Diantara beras lainnya ketan memang merupakan beras yang paling
lengket, tidak heran ketan sering digunakan sebagai bahan baku makanan yang
memiliki filosofi hidup harmonis” ujar ahli budaya Universitas Indonesia Bapak
Darmoko. Dengan menyajikan kue Lopis tersebut diharapkan masyarakat Pekalongan dapat
bersatu dan memiliki tali silaturahmi yang kuat. Filosofi tersebut juga menjadi
pesan dari proklamator kemerdekaan Bapak Soekarno. Pada tahun 1950 Presiden Soekarno datang dalam rapat
akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan (sekarang menjadi Monumen), beliau
berpesan agar rakyat Pekalongan bersatu seperti lopis. Pesan dari Bapak
Proklamator tersebut menjadi pemicu semangat masyarakat untuk terus melestarikan
tradisi tersebut.
Hingga saat ini tradisi Syawalan masih tetap dilakukan
dan animo masyarakat dari dalam maupun luar Kota Pekalongan masih tinggi.
Semoga tradisi tersebut semakin lestari dan selalu menjadi kebanggan Kota Pekalongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar