Sabtu, 10 Desember 2016

Budaya Makanan

Syawalan : Tradisi Khas Kota Pekalongan


Walikota Pekalongan periode 2015-2020 H. Achmad Alf Arslan Djunaid, S.E melakukan pemotongan Lopis pada perayaan Syawalan tahun 1437 Hijriyah

Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terdiri dari banyak unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, alat, pakaian, bangunan, dan karya seni. Indonesia adalah negara yang kaya akan tradisi dan budaya yang beragam dan bervariasi di tiap daerah. Keragaman budaya salah satunya adalah budaya makanan, setiap Kota dalam suatu provinsi saja bisa memiliki budaya makanan yang berbeda-beda. Contohnya adalah masyarakat Jawa Tengah yang memiliki berbagai makanan tradisional yang berbeda di setiap Kota. Bagi masyarakat Jawa, banyak sekali tradisi yang dapat mengandung arti sebagai perdamaian, keselamatan, bentuk syukur dan kerukunan. Bahkan tradisi tersebut tidak ditinggalkan oleh masyarakat yang sudah bergaya hidup modern. Salah satunya adalah tradisi Syawalan yang dirayakan dengan berbagai cara yang unik.

Lopis raksasa di hari Syawal
Tradisi Syawalan merupakan salah satu budaya yang dirayakan oleh masyarakat Jawa dengan penuh semangat. Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam merayakan Syawalan. Di Yogyakarta dan Surakarta, Syawalan dirayakan dengan melakukan Grebeg Syawal yakni mengarak dua gunungan berisi hasil bumi. Sementara itu di Kota Pekalongan tradisi Syawalan dilakukan dengan cara yang sedikit berbeda. Warga daerah Krapyak di Kota Pekalongan melakukan tradisi pemotongan Lopis raksasa, tradisi ini biasa disebut dengan istilah “Krapyakan” karena dirayakan di daerah Krapyak . Lopis yang dibuat umumnya memiliki ukuran yang bervariasi setiap tahun, namun beratnya pasti melampaui 100 kg. Pelaksanaan tradisi Syawalan ini dilakukan pada hari ke tujuh di bulan Syawal atau satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri tepatnya pada tanggal 8 Syawal. Lopis memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Pekalongan. Sifat beras ketan yang lengket dan saling menyatu satu sama lain mengartikan bahwa tradisi tersebut dapat menjadi perekat tali silaturahmi dan mempererat persaudaraan di wilayah Pekalongan.Tradisi tersebut juga menjadi media komunikasi dari berbagai lapisan masyarakat baik masyarakat lokal maupun luar Pekalongan. Lopis raksasa tersebut bahkan pernah tercatat di museum rekor Indonesia (MURI) pada perayaan Syawalan tahaun 1425 H (tahun 2004 berdasarkan penanggalan masehisebagai pembuatan Lopis terbesar di Indonesia.  
Seminggu sebelum hari perayaan warga Krapyak sudah bersiap-siap menyiapkan perayaan tersebut. Dimulai dengan pembentukan panitia, kemudian mulai mengumpulkan iuran untuk membeli bahan-bahan dan menyiapkan alat-alat yang diperlukan dalam pembuatan Lopis, karena Lopis raksasa tidak disajikan dengan gula jawa cair dan parutan kelapa, bahan-bahan yang diperlukan cukup mudah ditemukan seperti beras ketan putih, daun pisang, dan air. Dalam tahap persiapan yang menjadi keunikan mungkin terletak pada pemilihan alat-alat yang harus disiapkan warga. Dengan ukuran raksasa  dibutuhkan dandang berukuran  2 kali tinggi orang dewasa, selain itu diperlukan pula katrol dan tali tambang untuk mengangkat Lopis. Untuk menjamin bentuk Lopis tetap bagus, diperlukan pula cetakan berbahan dasar kayu dan tumbukan untuk menumbuk beras ketan sebelum dimasak. Setelah seluruh bahan siap, maka proses pembuatan dapat dimulai. Pertama-tama beras ketan dicuci dengan air sebanyak 2x pengulangan dan direndam selama 10-15 menit. Kemudian beras ditiriskan dan dimasak dalam dandang kecil hingga setengah matang. Setelah matang, beras ditumbuk dan dimasukan dalam cetakan kayu yang sudah dilapisi daun pisang kemudian dimasukan dalam dandang besar menggunakan bantuan katrol dan Lopis mulai dimasak. Pada 24 jam pemasakan pertama, posisi Lopis dibalik supaya seluruh bagian matang dengan merata dan pemasakan dilanjutkan hingga 2-3 hari kemudian. Lopis raksasa yang telah matang kemudian diangkat menggunakan katrol ke lokasi pemotongan.

Perayaan yang Meriah
Pemotongan Lopis raksasa umumnya dilakukan di Kelurahan Krapyak gang 8 Kota Pekalongan. Rangkaian acara dimulai dengan pelepasan balon udara dan menyalakan petasan pada pukul 6 pagi sebagai tanda memulainya acara. Kedua kegiatan tersebut merupakan akulturasi dari budaya Belanda dan Tionghoa. Pada zaman dahulu warga kolonial Belanda melepaskan balon udara untuk memeriahkan acara sementara para warga Tionghoa menyalakan petasan untuk memeriahkan perayaan. Kemudian sekitar pukul 7 pagi barulah pemotongan Lopis raksasa dilakukan. Pemotongan pertama Lopis tersebut dilakukan oleh waliKota Pekalongan yang didampingi Istri, kemudian diikuti pemotongan untuk tamu-tamu yang hadir dan seluruh warga. Lopis raksasa tersebut tidak diberi taburan kelapa parut dan gula jawa pada umumnya. Jika sudah kehabisan potongan Lopis tidak perlu khawatir, kunjungilah rumah-rumah warga di sepanjang kelurahan Krapyak maka Anda dapat menikmati kue Lopis berukuran kecil yang dinikmati dengan parutan kelapa dan siraman gula jawa cair. Selain itu Anda juga dapat menikmati kacang rebus, lotis (potongan aneka macam buah yang dimakan dengan sambal kacang), dan kerupuk pasir yang dikenal dengan nama “miusek” oleh masyarakat Krapyak.

Pesan dari Sang Proklamator
            Perayaan Syawalan di Kota Pekalongan sudah ada sekitar tahun 1885. Dimulai dari kebiasaan puasa Syawal yang dilakukan oleh KH. Abdullah Sirodj yang merupakan seorang ulama besar pada era kolonial Belanda. “KH. Abdullah Sirodj merupakan ulama yang menjadi panutan masyarakat, tidak heran kebiasaannya untuk melaksanakan puasa Syawal selama seminggu penuh setelah hari raya Idul Fitri diikuti oleh masyarakat” tutur KH. Zainudin Ismail salah satu sesepuh Krapyak. Melihat pengaruh yang besar dari KH. Abdullah Sirodj terhadap masyarakat Pekalongan membuat pemerintah kolonial Belanda takut terhadap beliau. Belanda takut dengan kepatuhan masyarakat Pekalongan terhadap beliau, jika beliau memerintahkan perlawanan maka seluruh rakyat Pekalongan dapat melawan dan tidak patuh terhadap Belanda. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mengasingkan KH. Abdullah Sirodj, beliau pun berada di Magelang hingga akhir hayatnya. Kepatuhan masyarakat terhadap ajaran beliau membuat tradisi puasa Syawal tetap dilaksanakan masyarakat mesksipun KH. Abdullah Sirodj tidak hadir ditengah-tengah mereka.
Sebagai perayaan untuk menandai selesainya puasa Syawal maka masyarakat membuat kue Lopis. Kue tersebut dipilih karena berbahan dasar ketan yang memiliki sifat lengket, sifat lengket tersebut melambangkan keeratan silaturahmi. “Diantara beras lainnya ketan memang merupakan beras yang paling lengket, tidak heran ketan sering digunakan sebagai bahan baku makanan yang memiliki filosofi hidup harmonis” ujar ahli budaya Universitas Indonesia Bapak Darmoko. Dengan menyajikan kue Lopis tersebut diharapkan masyarakat Pekalongan dapat bersatu dan memiliki tali silaturahmi yang kuat. Filosofi tersebut juga menjadi pesan dari proklamator kemerdekaan Bapak Soekarno. Pada tahun 1950 Presiden Soekarno datang dalam rapat akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan (sekarang menjadi Monumen), beliau berpesan agar rakyat Pekalongan bersatu seperti lopis. Pesan dari Bapak Proklamator tersebut menjadi pemicu semangat masyarakat untuk terus melestarikan tradisi tersebut.
Hingga saat ini tradisi Syawalan masih tetap dilakukan dan animo masyarakat dari dalam maupun luar Kota Pekalongan masih tinggi. Semoga tradisi tersebut semakin lestari dan selalu  menjadi kebanggan Kota Pekalongan.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar