Minggu, 11 Desember 2016

Budaya Makanan

Kue Coro Simbol "Rabukasan" Kota Pekalongan


Hai hai readers ! pekan lalu aku udah nulis di blog mengenai rabu wekasan di daerah Yogyakarta. Nah sekarang kita tinggalkan Yogyakarta menuju kota pesisir pantai yang kental akan budaya dan tradisinya dan terkenal dengan Batiknya. Udah pada tau kan kota apa itu ? Yes benar sekali Kota Pekalongan. Kota dengan seabrek budayanya, kota yang mayoritas masyarakatnya bisa membatik dan kota yang penuh dengan kenangan bagi penulis hahahaha.

Rabu pungkasan ? pastinya udah pernah denger kan ? nah kalau di daerah Pekalongan sih biasanya dikenal dengan istilah “rabukasan”. Untuk mengingatkan kembali, penulis jelasin lagi deh apa itu rabu pungkasan itu. Rabu pungkasan merupakan hari rabu terakhir di bulan shafar. Pada hari rabu terakhir ini banyak ritual-ritual yang dilakukan. Mengapa demikian ? karena masyarakat percaya bahwa bulan shafar itu rentan dengan bala’ (bencana). Oleh karena itu pada hari rabu terakhir ini banyak dilakukan ritual maupun tradisi yang bertujuan untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT agar terhindar dari berbagai bencana dan malapetaka yang mungkin akan terjadi. Pekalongan yang merupakan kota santri tentunya tradisi maupun ritual yang dilakukan tidak terlepas dengan hal-hal yang berbau agamis. Ritual atau tradisi yang umumnya dilakukan di daerah Pekalongan adalah sholat tolak bala’, berdoa dengan doa-doa khusus, meminum air yang telah di doakan oleh ulama ataupun kyai setempat, mengusap kepala anak yatim, bersilaturahmi kepada sanak saudara dan tetangga, serta melakukan syukuran. Makanan khas yang hanya ada dan dibuat saat syukuran di “rabukasan” ini adalah “kue coro”. Kue coro merupakan kue yang terbuat dari tepung terigu, gula jawa yang dicampur dengan daun bawang yang mempunyai rasa yang khas. Umumnya kue coro ini dimakan dengan memakai kuah santan yang telah dicampur dengan santan kelapa dan diberi rempah-rempah sehingga kue ini mendapat tempat tersendiri di hati penikmatnya. 


Sabtu, 10 Desember 2016

Budaya Makanan

Lopis Raksasa : Ikon Syawalan Kota Pekalongan




Kota Pekalongan merupakan kota yang berada di pesisir pantai utara Jawa Tengah. Lokasi tersebut membuat Pekalongan menjadi salah satu wilayah, yang pertama kali dimasuki ajaran islam. Selain ajaran islam, Kota Pekalongan juga terkenal kental akan tradisi dan budaya yang masih dipertahankan. Menurut bapak Darmoko, seorang ahli budaya jawa dari Universitas Indonesia, daerah yang berada di pesisir pantai termasuk didalamnya adalah Pekalongan, adalah daerah yang kental dengan budaya islam.
Krapyak, merupakan salah satu kelurahan di Kota Pekalongan yang terletak di daerah pesisir. Daerah ini memiliki tradisi,  yang sampai saat ini masih dipelihara oleh masyarakat. Salah satunya adalah tradisi syawalan. Tradisi tersebut dirayakan seminggu setelah idul fitri dimana masyarakat telah selesai melaksanakan puasa sunnah selama seminggu penuh diawal bulan syawal. Menurut sesepuh Krapyak, Bapak KH. Zainudin Ismail, syawalan dipelopori oleh salah satu ulama besar Pekalongan yakni KH. Abdullah Sirodj, yang menjadi panutan bagi semua masyarakat pekalongan di era kolonial belanda.

Setelah selesai menjalankan puasa sunah di bulan syawal, semua masyarakat melakukan syukuran atau perayaan dengan tujuan untuk menambah dan memperat tali silaturahmi antar sesama warga. Karena syukuran dilaksanakan dibulan syawal, maka disebut dengan istilah syawalan. Salah satu makanan yang disajikan saat syawalan adalah, lopis. Lopis dibuat dengan ukuran yang besar, agar dapat dibagikan kepada seluruh sanak saudara, maupun masyarakat yang hadir. Dahulu, kegiatan syawalan berasal dari dana swadaya masyarakat, akan tetapi karena semakin meriahnya tradisi syawalan setiap tahunnya, maka sebagai bentuk dukungan, pemerintah Kota Pekalongan  memberikan bantuan berupa dana operasional yang bersumber dari RAPB (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja) yaitu sebesar 30 juta rupiah untuk kegiatan syawalan setiap tahunnya.



Pembuatan Lopis
Pembuatan lopis raksasa merupakan budaya kota pekalongan yang dilakukan secara rutin pada bulan syawal. Dimana pada hari pertama ini pembuatan lopis raksasa memasuki tahap pertama, yaitu pencucian beras ketan, pengukusan, penumbukan, dan pembentukan. Pada proses pengukusan ditambahkan daun pandan agar menghasilkan aroma yang khas pada ketan. Beras ketan yang digunakan  untuk pembuatan lopis raksasa sebanyak 4 kwintal  dengan tinggi dandang hampir mencapai dua meter. Pada hari pertama masyarakat bahu membahu dalam proses pembuatan lopis raksasa  tersebut. Hari itu, warga krapyak kidul nampak antusias dan bersemangat.
Hari kedua pembuatan lopis raksasa di Krapyak Kidul, kini telah memasuki tahap pembalikan lopis , dimana untuk proses pembalikan lopis sendiri, menggunakan alat, berupa katrol. Sebelum proses pembalikan, lopis raksasa yang berbahan beras ketan seberat 4 kwintal tersebut, dikukus dengan dandang ukuran besar. Karena ukuran lopis yang lebih besar dari pada biasanya, penarikan dengan katrol dilakukan oleh lebih dari 8 orang dewasa. Ukuran lopis sendiri dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Di hari ketiga pembuatan lopis raksasa, kini telah memasuki tahap pengangkatan. Proses pengangkatan sendiri, tidak berbeda jauh dengan tahap pembalikan, yaitu masih menggunakan katrol, sebagai alat bantunya. Tahap pengangkatan lopis dari dandang raksasa, dilakukan oleh sekitar  lebih dari 10 orang, karena dibutuhkan kekompokan antara satu dengan yang lain. Setelah lopis berhasil diangkat dari dandang, kemudian lopis diletakkan ke panggung kayu berukuran sedang dan rencananya lopis akan berada di panggung kayu tersebut, hingga perayaan syawalan tiba.

Filosofi dari Lopis Raksasa
Lopis, adalah makanan yang berbahan dasar ketan yang memiliki sifat lengket, dimana sifat lengket ini, dijadikan sebagai simbol keereatan. Dengan menyajikan olahan berbahan dasar ketan seperti lopis, niscaya hubungan tali silaturahmi semakin erat. Ketan yang digunakan adalah jenis ketan putih. Warna putih dari ketan disimbolkan sebagai kebersihan hati setelah melakukan puasa syawal selama satu minggu penuh. Lopis dibungkus dengan daun pisang, daun pisang dipilih sebagai pembungkus dengan harapan, masyarakat dapat bersifat seperti tanaman pisang yang dapat berguna dari daun hingga akarnya. Warna daun pisang yang hijau memiliki filosofi kemakmuran, dimana seluruh masyarakat pekalongan harus bersyukur atas kemakmuran yang telah diberikan oleh sang maha kuasa.  Setelah dibungkus, kemudian lopis diikat dengan tali dari pelepah pisang. Pengikatan tersebut, bertujuan agar bentuk lopis tetap kokoh dan rapi. Filosofi dari pengikatan dengan tali menunjukan persatuan, diharapkan masyarakat pekalongan khususnya daerah krapyak tidak tercerai berai dan tetap bersatu dalam membangun bangsa indonesia agar lebih maju.

Pengunjung yang datang pada saat perayaan syawalan, setelah selesai menyaksikan pemotongan lopis raksasa oleh walikota pekalongan, biasanya akan menuju ke objek wisata Kota Pekalongan yaitu pantai pasir kencana. Disana telah disediakan berbagai macam wahana wisata seperti akuarium, kolam renang, dan wisata outbond lainnya.

Sebagai kebanggan Kota Pekalongan, tradisi lopis raksasa saat syawalan sudah seharusnya tetap dilestarikan agar tradisi tersebut tidak hilang dan generasi mendatang tetap dapat merasakan nilai religiusitas dan kekentalan budaya  syawalan. 



Budaya Makanan

Syawalan : Tradisi Khas Kota Pekalongan


Walikota Pekalongan periode 2015-2020 H. Achmad Alf Arslan Djunaid, S.E melakukan pemotongan Lopis pada perayaan Syawalan tahun 1437 Hijriyah

Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terdiri dari banyak unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, alat, pakaian, bangunan, dan karya seni. Indonesia adalah negara yang kaya akan tradisi dan budaya yang beragam dan bervariasi di tiap daerah. Keragaman budaya salah satunya adalah budaya makanan, setiap Kota dalam suatu provinsi saja bisa memiliki budaya makanan yang berbeda-beda. Contohnya adalah masyarakat Jawa Tengah yang memiliki berbagai makanan tradisional yang berbeda di setiap Kota. Bagi masyarakat Jawa, banyak sekali tradisi yang dapat mengandung arti sebagai perdamaian, keselamatan, bentuk syukur dan kerukunan. Bahkan tradisi tersebut tidak ditinggalkan oleh masyarakat yang sudah bergaya hidup modern. Salah satunya adalah tradisi Syawalan yang dirayakan dengan berbagai cara yang unik.

Lopis raksasa di hari Syawal
Tradisi Syawalan merupakan salah satu budaya yang dirayakan oleh masyarakat Jawa dengan penuh semangat. Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam merayakan Syawalan. Di Yogyakarta dan Surakarta, Syawalan dirayakan dengan melakukan Grebeg Syawal yakni mengarak dua gunungan berisi hasil bumi. Sementara itu di Kota Pekalongan tradisi Syawalan dilakukan dengan cara yang sedikit berbeda. Warga daerah Krapyak di Kota Pekalongan melakukan tradisi pemotongan Lopis raksasa, tradisi ini biasa disebut dengan istilah “Krapyakan” karena dirayakan di daerah Krapyak . Lopis yang dibuat umumnya memiliki ukuran yang bervariasi setiap tahun, namun beratnya pasti melampaui 100 kg. Pelaksanaan tradisi Syawalan ini dilakukan pada hari ke tujuh di bulan Syawal atau satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri tepatnya pada tanggal 8 Syawal. Lopis memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Pekalongan. Sifat beras ketan yang lengket dan saling menyatu satu sama lain mengartikan bahwa tradisi tersebut dapat menjadi perekat tali silaturahmi dan mempererat persaudaraan di wilayah Pekalongan.Tradisi tersebut juga menjadi media komunikasi dari berbagai lapisan masyarakat baik masyarakat lokal maupun luar Pekalongan. Lopis raksasa tersebut bahkan pernah tercatat di museum rekor Indonesia (MURI) pada perayaan Syawalan tahaun 1425 H (tahun 2004 berdasarkan penanggalan masehisebagai pembuatan Lopis terbesar di Indonesia.  
Seminggu sebelum hari perayaan warga Krapyak sudah bersiap-siap menyiapkan perayaan tersebut. Dimulai dengan pembentukan panitia, kemudian mulai mengumpulkan iuran untuk membeli bahan-bahan dan menyiapkan alat-alat yang diperlukan dalam pembuatan Lopis, karena Lopis raksasa tidak disajikan dengan gula jawa cair dan parutan kelapa, bahan-bahan yang diperlukan cukup mudah ditemukan seperti beras ketan putih, daun pisang, dan air. Dalam tahap persiapan yang menjadi keunikan mungkin terletak pada pemilihan alat-alat yang harus disiapkan warga. Dengan ukuran raksasa  dibutuhkan dandang berukuran  2 kali tinggi orang dewasa, selain itu diperlukan pula katrol dan tali tambang untuk mengangkat Lopis. Untuk menjamin bentuk Lopis tetap bagus, diperlukan pula cetakan berbahan dasar kayu dan tumbukan untuk menumbuk beras ketan sebelum dimasak. Setelah seluruh bahan siap, maka proses pembuatan dapat dimulai. Pertama-tama beras ketan dicuci dengan air sebanyak 2x pengulangan dan direndam selama 10-15 menit. Kemudian beras ditiriskan dan dimasak dalam dandang kecil hingga setengah matang. Setelah matang, beras ditumbuk dan dimasukan dalam cetakan kayu yang sudah dilapisi daun pisang kemudian dimasukan dalam dandang besar menggunakan bantuan katrol dan Lopis mulai dimasak. Pada 24 jam pemasakan pertama, posisi Lopis dibalik supaya seluruh bagian matang dengan merata dan pemasakan dilanjutkan hingga 2-3 hari kemudian. Lopis raksasa yang telah matang kemudian diangkat menggunakan katrol ke lokasi pemotongan.

Perayaan yang Meriah
Pemotongan Lopis raksasa umumnya dilakukan di Kelurahan Krapyak gang 8 Kota Pekalongan. Rangkaian acara dimulai dengan pelepasan balon udara dan menyalakan petasan pada pukul 6 pagi sebagai tanda memulainya acara. Kedua kegiatan tersebut merupakan akulturasi dari budaya Belanda dan Tionghoa. Pada zaman dahulu warga kolonial Belanda melepaskan balon udara untuk memeriahkan acara sementara para warga Tionghoa menyalakan petasan untuk memeriahkan perayaan. Kemudian sekitar pukul 7 pagi barulah pemotongan Lopis raksasa dilakukan. Pemotongan pertama Lopis tersebut dilakukan oleh waliKota Pekalongan yang didampingi Istri, kemudian diikuti pemotongan untuk tamu-tamu yang hadir dan seluruh warga. Lopis raksasa tersebut tidak diberi taburan kelapa parut dan gula jawa pada umumnya. Jika sudah kehabisan potongan Lopis tidak perlu khawatir, kunjungilah rumah-rumah warga di sepanjang kelurahan Krapyak maka Anda dapat menikmati kue Lopis berukuran kecil yang dinikmati dengan parutan kelapa dan siraman gula jawa cair. Selain itu Anda juga dapat menikmati kacang rebus, lotis (potongan aneka macam buah yang dimakan dengan sambal kacang), dan kerupuk pasir yang dikenal dengan nama “miusek” oleh masyarakat Krapyak.

Pesan dari Sang Proklamator
            Perayaan Syawalan di Kota Pekalongan sudah ada sekitar tahun 1885. Dimulai dari kebiasaan puasa Syawal yang dilakukan oleh KH. Abdullah Sirodj yang merupakan seorang ulama besar pada era kolonial Belanda. “KH. Abdullah Sirodj merupakan ulama yang menjadi panutan masyarakat, tidak heran kebiasaannya untuk melaksanakan puasa Syawal selama seminggu penuh setelah hari raya Idul Fitri diikuti oleh masyarakat” tutur KH. Zainudin Ismail salah satu sesepuh Krapyak. Melihat pengaruh yang besar dari KH. Abdullah Sirodj terhadap masyarakat Pekalongan membuat pemerintah kolonial Belanda takut terhadap beliau. Belanda takut dengan kepatuhan masyarakat Pekalongan terhadap beliau, jika beliau memerintahkan perlawanan maka seluruh rakyat Pekalongan dapat melawan dan tidak patuh terhadap Belanda. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mengasingkan KH. Abdullah Sirodj, beliau pun berada di Magelang hingga akhir hayatnya. Kepatuhan masyarakat terhadap ajaran beliau membuat tradisi puasa Syawal tetap dilaksanakan masyarakat mesksipun KH. Abdullah Sirodj tidak hadir ditengah-tengah mereka.
Sebagai perayaan untuk menandai selesainya puasa Syawal maka masyarakat membuat kue Lopis. Kue tersebut dipilih karena berbahan dasar ketan yang memiliki sifat lengket, sifat lengket tersebut melambangkan keeratan silaturahmi. “Diantara beras lainnya ketan memang merupakan beras yang paling lengket, tidak heran ketan sering digunakan sebagai bahan baku makanan yang memiliki filosofi hidup harmonis” ujar ahli budaya Universitas Indonesia Bapak Darmoko. Dengan menyajikan kue Lopis tersebut diharapkan masyarakat Pekalongan dapat bersatu dan memiliki tali silaturahmi yang kuat. Filosofi tersebut juga menjadi pesan dari proklamator kemerdekaan Bapak Soekarno. Pada tahun 1950 Presiden Soekarno datang dalam rapat akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan (sekarang menjadi Monumen), beliau berpesan agar rakyat Pekalongan bersatu seperti lopis. Pesan dari Bapak Proklamator tersebut menjadi pemicu semangat masyarakat untuk terus melestarikan tradisi tersebut.
Hingga saat ini tradisi Syawalan masih tetap dilakukan dan animo masyarakat dari dalam maupun luar Kota Pekalongan masih tinggi. Semoga tradisi tersebut semakin lestari dan selalu  menjadi kebanggan Kota Pekalongan.