Rabu, 23 November 2016

Budaya Makanan


Lemper : Simbol Rabu Wekasan Daerah Yogyakarta

Rabu wekasan atau sering juga disebut dengan rabu pungkasan atau rabu kasan merupakan hari rabu terakhir di bulan shafar dimana pada rabu terakhir ini banyak terdapat tradisi-tradisi ritual yang dilaksanakan. Tradisi ritual dilakukan dengan tujuan untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai semua bencana dan malapetaka yang mungkin akan terjadi. Istilah rabu wekasan sudah ada sejak dahulu dan bersifat turun temurun di kalangan masyarakat Jawa. Tradisi ritual yang biasanya dilakukan adalah shalat tolak bala’, berdoa dengan doa-doa khusus, meminum air jimat dan syukuran atau selamatan, silaturahmi dan berbuat baik kepada sesama.
Daerah-daerah yang hingga saat ini masih melaksanakan tradisi rabu wekasan antara lain Yogyakarta, dan Pekalongan. Tradisi rabu wekasan di daerah Yogyakarta dan Pekalongan sangat berbeda. Untuk daerah Yogyakarta sendiri tradisi yang sampai saat ini masih dilakukan adalah menyeberangi tempuran dan semedi dimana dua kegiatan ini berawal dari Sultan Agung yang kemudian diikuti dan dilaksanakan setiap tahunnya pada rabu wekasan.
         Awal mula adanya tradisi rabu wekasan ini adalah kebiasaaan Sultan Agung yang sering melakukan nenepi  (bersemedi ditempat yang sepi dan berkeramat untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberikan perlindungan, keselamatan, rejeki dan kedudukan) di tempuran Wonokromo. Sultan Agung bersemedi di salah satu tepi tempuran atau sungai. Untuk melalukan semedi tersebut umumnya banyak gangguan, kendala dan hambatan yang akan dihadapi. Suatu hari ketika Sultan Agung sedang melakukan semedi tiba-tiba diganggu dengan kedatangan Ratu Kidul yang menaiki kuda sembrani. Ratu Kidul lalu turun dari kuda sembraninya untuk menyeberangi sungai karena tempat Ratu Kidul bersebarangan dengan Sultan Agung. Ketika menyeberangi sungai Ratu Kidul mengangkat kainnya ke atas agar tidak basah. Tentu saja dalam mengangkat kainnya Ratu Kidul menyesuaikan dengan kedalaman sungai sehingga semakin dalam sungai maka semakin tinggi pula kain yang diangkatnya hingga keliatan betis dan paha nya. Paras Ratu Kidul yang cantik jelita ditambah dengan kondisi  Ratu Kidul yang sedang mengangkat kainnya membuat Sultan Agung terkesima hingga mendorong hasrat kelaki-lakiannya. Sesampainya di seberang maka Sultan Agung menyambut Ratu Kidul dengan baik. Kemudian keduanya larut dalam gejolak asmara.
     Sampai saat ini tradisi semedi dan menyeberang tempuran masih berlangsung di desa Wonokromo. Pada rabu wekasan masyarakat berbondong-bondong ke tempat tersebut untuk melakukan tirakatan dengan tidak selama semalam suntuk. Pada sore hari hingga petang, para wanita menyeberangi tempuran sambil mengangkat kain. Hal ini dimaksudkan untuk meniru Ratu Kidul. Sedangkan para pria menggoda dan menganggu wanita yang sedang menyeberangi tempuran dengan meneriakkan kalau wanita kurang tinggi mengangkat kainnya. Tradisi ini dianggap menarik oleh para pria sehingga banyak pria yang menyaksikan dan tidak heran jika banyak ucapan-ucapan yang kurang terkontrol dari mulut mereka sehingga tidak dapat dilepaskan dari kata-kata yang menjurus ke pornografi. Para wanita yang sedang menyeberang tidak boleh sakit hati dengan perkataan-perkataan yang dilontarkan oleh para pria sebab sebelum memasuki tempat upacara para wanita harus merasa tidak terganggu dan menganggapnya dengan wajar apapun yang dilontarkan oleh para pria. Masyarakat yang berkunjung bukan hanya dari daerah sekitar saja akan tetapi berasal dari daerah-daerah lain baik dari wilayah Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Selain itu di hari rabu wekasan diselenggarakan pula pasar malam selama satu minggu di lapangan depan Balai Desa Wonokromo. Puncak perayaan rabu wekasan adalah dengan “ngarak lemper” yang artinya membawa lemper besar untuk diarak keliling desa yang diiringi dengan berbagai kelompok kesenian, pasukan berkuda, prajurit keraton dan kesenian lainnya. Lemper yang digunakan dibuat seukuran kenthongan bambu. Sebelum prosesi dimulai terlebih dahulu diawali dengan doa dan membaca surat Al-Fatihah kemudian arak-arakan dimulai dari masjid Wonokromo menyusuri jalan desa sepanjang ± 2 KM dan berakhir di Balai desa Wonokromo. Di sepanjang jalan ribuan pengunjung bergerombol di kiri dan kanan jalan untuk menyaksikan dan memeriahkan acara yang sedang berlangsung. Sesaimpainya di  Balai Desa pemimpin prosesi kemudian menyerahkan berbagai “uba rampe” termasuk juga lemper besar kepada Kepala Desa. Setelah Kepala Desa memberikan sambutan dan penjelasan maka dilakukan prosesi pemotongan lemper besar dan kemudian dibagikan kepada para pengunjung dan undangan. 
          

Lemper sendiri memiliki simbol dalam tradisi rabu wekasan yaitu “sunduk” (tusuk bambu yang membungkus lemper) yang berjumlah dua menyimbolkan rukun islam dan rukun iman. Selain itu kedua “sunduk” juga bermakna bertemunya dua insan yaitu kanjeng Sultan Agung dan Kanjeng Ratu Kidul yang telah memakmurkan tanah jawa. Kemudian bungkus lemper memiliki makna sebagai pembungkus agar masyarakat khususnya masyarakat Pleret selalu dalam keadaan aman, sejahtera, dan sentosa. Bentuk lemper dimaknai sebagai hasil pertemuan antara Sultan Agung dengan Kanjeng Ratu Kidul yang bercinta dalam tempuran.